Selasa, 13 Juli 2010

sejarah hki di indonesia

Secara hiistoris peraturan perundang – undangan di bidang KHI telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah belanda memperkenalkan undang – undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. selanjutnya, pemerintah Belanda mengundangkan unadang – undang merek (1844), undang – undang paten (1910) dan undang – undang hak cipta (1912). Peraturan ini berlaku hingga pada masa pemerintahan jepang yaitu pada tahun 1942 sampai dengan 1945.

Pada tanggal 17 agustus 1945 bangsa indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagai ditetapkan dalam ketentuan perubahan UUD 1945, seluruh peraturan perundang – undangan peninggalan kolonial belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD1945. UU hak cipta dan UU merek peninggalan belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU paten peninggalan beland, permohonan paten dapat diajukan dikantor paten yang berada di Batavia (sekarang jakarta), namun persiapan dalam permohonan paten harus dilakukan dioctrooirood yang berada di belanda.

Pada tahun 1953 mentri kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan ertama yang berkenaan dengan paten, yaitu pengumuman mentrikehakiman no. Js. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negri, dan pengumuman mentri kehakiman no. Jg 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negri.

Pada tanggal 11 oktober 1961 pemerinah RI mengundangkan UU no 21 tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan (uu merek 1961) untuk mengganti uu merek kolonial Belanda.UU 1961 yang merupakan UU indonesia pertama di bidang HKI mulai berku tgl 11 november 1961. penetapan uu merek 1961di maksutkan untuk melindungi masyarakat dari barang – barang tiruan atau bajakan. Dan pada tagal 12 april 1982pemerintah mengesahkan UU no 6 ahun 1982 (hak cipta 1982)untuk mengganti UU hak cipta peningalan Belanda. Hal ini dlakuan untuk maksut melindungi penciptaan, penyebar luasan kebudayaan dan seni di bidang sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Pada tahun 1986 dapat dikatakan sebagai awal era modern sistem HkI di tanah air. Pada tanggal 23 juli presiden RI membentuk sebuah tim kusus di bidang HKI melalui keputusan no. 34/1986. begitu banyak perubahan pada tahun 1997 pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perudang – undangan di bidang HKI, yaitu UU hak cipta 1987 jo.UU no. 6 tahun 1982, UU paten 1989 dan UU merek 1992. Di penghujung tahun 2000 disahkan UU baru di bidang HKI, yaitu UU no 30 tahun 2000 tentang rahasia dagang, UU no. 31 tahun 2000 tentang desain industri dan uu no. 32 tahun 2000.

Kode Etik Advokat

Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat.Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan.
Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan professional.

Fungsi dan Peranan Advokat
Secara garis besar dapat disebutkan di bawah ini mengenai fungsi dan peranan advokat antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia
2. Memperjuangkan hak asasi manusia;
3. Melaksanakan Kode Etik Advokat;
4. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran;
5. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran dan moralitas);
6. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat advokat;
7. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus (continuous legal education) untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum;.
Makna, Fungsi dan Peranan Kode Etik Advokat Indonesia
Tiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Hal senada diungkapkan oleh Bertens yang menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat. Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah prilaku sebagai pedoman yang harus dpatuhi dalam mengembankan suatu profesi. Dengan demikian maka paling tidak ada 3 maksud yang terkandung dalam pembentukan kode etik, yaitu :
1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral;
2. Menjaga dan mengingkatkan kualitas keterampilan teknis; dan
3. Melindungi kesejahteraan materiil dari para pengemban profesi.
Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum atau pun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mejawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat.. Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik. Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :
1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat seperti merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, intimidasi terhadap teman sejawat
2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi dengan advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan terhadap klien, menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien berdasarkan bayaran, dan lain sebagainya;
3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan pegawai pengadilan dan lain-lain.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang advokat mengenai substansi kode etik profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu, apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada pengaturan mengenai sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini juga yang merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik. Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat anggotanya.
Dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dan sifat pengulangan pelanggarannya.
Dengan demikian yang seharusnya dianalisis adalah apakah muatan dalam kode etik advokat yang ada sekarang ini memang tidak menyediakan secara memadai kebutuhan akan nilai-nilai profesi yang mampu memantapkan fungsi dan peran advokat di dalam sistem hukum dan interaksinya dengan masyarakat. Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah “budaya” advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang diberlakukan terhadapnya. “Budaya” solidaritas korps disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan “Spirit of the Corps” yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih menonjol ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya skeptis. Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang sudah sangat korup dan rasa segan untuk bertindak “heroik’ secara individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung untuk berpraktek di luar pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.